Tulisan santai. DI Indonesia ada fenomena sosial yang seringkali ditanggapi dengan fun atau humor. Yaitu berkaitan dengan bubur yang lebih baik diaduk atau tidak diaduk saat menyantapnya. Saya jadi ingin menulis tentang bubur karena pekan lalu ada event sarapan bubur di kantor. Saya telat buka grup, jadinya saya gak ikutan makan bubur karena sudah sarapan di rumah.
Ada yang berpendapat makan bubur lebih baik tidak diaduk agar tampilannya tetap lebih enak dilihat, beda dengan bubur yang sudah diaduk yang tampilannya tercampur-campur. Dimana sebagian orang mungkin beranggapan hal tersebut dapat mengurangi selera makan.
Ada juga di sisi yang lain yang berpendapat makan bubur lebih baik diaduk agar rasanya lebih tercampur atau merata. Lagipula, mau diaduk atau tidak nanti di lambung bentuknya akan mirip.
Kalau saya yang mana? Saya sendiri bukan terikat “tim aduk” atau “tim tidak diaduk”. Karena yaa tergantung saya ingin diaduk atau tidak. Ataupun kadang saat awal sesi makan, buburnya tidak saya aduk. Namun saat pertengahan hingga akhir sesi makan, buburnya saya aduk.
Jadi begitulah pandangan dan pendapat pribadi saya mengenai perbuburan ini. Sampai bertemu di tulisan lainnya. Bye~