Mata Kuliah FIlsafat Ilmu

Sabtu kemarin (12/10) merupakan jadwal saya kuliah online. Kelas terakhir adalah mata kuliah Filsafat Ilmu. Mata kuliah ini masuk di semester 7. Tapi karena saya tergolong “mahasiswa kelas terbang”, jadi saya bisa saja ambil kelas-kelas yang berbeda tingkat.

Tidak ada sesi zoom atau online meet kala itu. Dosen memberikan tugas untuk membaca sebuah artikel. Artikel tersebut adalah tulisan dari seorang dokter asal Indonesia yang sedang tinggal di China. Artikel tersebut berisi opini atau pendapat dokter tersebut mengenai perbedaan yang tampak antara China dan Indonesia.

Tugasnya adalah kami diminta oleh bu dosen untuk membaca artikel tersebut, lalu buat ulasan dan juga opini terkait artikel tersebut. Dan juga diminta untuk memberikan contoh kasus yang terjadi di Indonesia.

Untuk tugas tersebut diminta minimal sebanyak dua halaman (diketik). Pada awalnya saya sempat berpikir “wah, banyak juga”. Tapi akhirnya saya coba kerjain dulu.

Pertama, saya coba berikan ulasan atau rangkuman tiap topik yang dibahas pada artikel sumber. Setelah bagian tersebut selesai, selanjutnya saya kemukakan opini atau pendapat saya mengenai isu yang dibahas. Juga disertai dengan beberapa topik/kejadian yang terjadi di Indonesia.

Sekalian juga deh saya taro disini tugasnya:


Sumber artikel: https://lifestyle.kompas.com/read/2024/10/10/080100320/belajar-dari-tiongkok-warisan-tradisi-jadi-bekal-atasi-stunting-hingga?utm_source=Various&utm_medium=Referral&utm_campaign=Top_Desktop

Artikel tersebut ditulis oleh seorang dokter yang tinggal di China dan pandangannya terkait hal-hal yang ada di China. Adapun poin-poin dari artikel tersebut adalah sebagai berikut:

Pada pembukaan artikel, penulis menceritakan tentang kondisi kota yang minim polusi. Karena kebanyakan masyarakat sudah menggunakan transportasi listrik.

Selanjutnya, penulis menceritakan tentang budaya setempat yang masih dijalankan. Salah satunya adalah keluarga yang tinggal di kota tersebut masih rutin mengkonsumsi empat jenis sayuran setiap hari. Sayuran tersebut yaitu kembang kol, sayur kacang, tauge, dan labu. Mereka masih menjaga makanan yang mereka makan, yaitu makanan tradisional mereka. Dimana jarang atau mungkin bahkan tidak ada menu asing. termasuk makanan yang dijual di jalan (street food). Walaupun menu-menu yang ditawarkan adalah menu tradisional atau lokal, penulis menyampaikan menu-menu tersebut tetap menggugah selera.

Pada lanjutan artikel tersebut, penulis juga menyampaikan kekhawatirannya mengenai fenomena yang terjadi di tanah air kita, yaitu Indonesia. Dimana di Indonesia banyak daerah, termasuk di desa sudah “menerapkan” menu makanan dan minuman yang diambil dari negara lain. Penulis juga menyampaikan kekhawatirannya terkait menu jajanan atau pangan tradisional lokal Indonesia yang makin lama makin tergerus oleh menu pangan dari luar negeri atau semakin hari semakin dilupakan.

Kemajuan teknologi juga mengubah kebiasaan masyarakat. Semakin banyak masyarakat Indonesia yang memiliki akses terhadap smartphone, internet, dan media sosial. Perkembangan media sosial juga memungkinkan banyak orang yang menjadi terkenal. Artis media sosial yang juga biasa dikenal dengan selebgram atau influencer juga memiliki jangkauan yang besar. Mereka juga memberikan pandangan pribadinya. Banyak juga orang atau pengguna media sosial yang lebih memilih pendapat para influencer. Misalnya dalam hal memberi makan anak, sebagian orang akan lebih percaya produk yang dipromosikan oleh para influencer. 

Pada artikel tersebut, penulis juga  membandingkan tentang tingkat stunting di China dan Indonesia. Meskipun dalam hal pendirian negara, China lebih muda empat tahun dibanding Indonesia (China Oktober 1949) namun tingkat  stuntingnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan Indonesia. Menurut artikel tersebut, tingkat stunting kita masih berada di atas angka 20% sedangkan di China hanya sebesar 3,4% di daerah perkotaan dan 5,8% di daerah pedesaan/rural. Hal ini bisa dikatakan miris karena menurut data Unicef, di China tingkat stunting pada tahun 1990 masih sebesar 33,1% namun saat ini angka tersebut sudah sangat berkurang jauh. Padahal wilayah China jauh lebih besar dibandingkan Indonesia, dan jumlah penduduknya juga jauh lebih besar dari Indonesia.

Pada tulisan tersebut juga mengemukakan berbagai tantangan yang ada di Indonesia. Lemahnya tingkat atau kualitas pendidikan di Indonesia juga membuat tingkat intelegensi anak tidak optimal. Sehingga anak seringkali lebih bercita-cita menjadi influencer ataupun artis dibandingkan menjadi ilmuwan. Berbeda dengan China yang banyak menghasilkan akademisi atau ilmuwan.

Saya akan mencoba mengemukakan pendapat atau opini saya terkait hal-hal yang dibahas pada artikel tersebut. Indonesia memiliki jumlah kematian dini tertinggi yang ada kaitannya dengan polusi udara (https://www.vitalstrategies.org/wp-content/uploads/Sumber-Utama-Polusi-Udara-di-DKI-Jakarta_Policy-Brief.pdf ). Mengenai polusi di Indonesia, terutama di kota-kota besar dapat dikatakan sangat buruk. Misalnya di daerah Jabodetabek. Hal ini salah satunya disebabkan oleh polusi dari kendaraan bermotor. Namun penggunaan kendaraan berbahan bakar fosil bukanlah satu-satunya faktor yang memengaruhi buruknya kualitas udara di Jabodetabek (namun tetap menjadi faktor terbesar di wilayah Jakarta). Ada juga faktor lain seperti polusi dari industri (misalnya pabrik) ataupun polusi dari pembangkit listrik tenaga uap (misalnya PLTU yang menggunakan batu bara), aktivitas konstruksi, pembakaran (seperti sampah), dan juga debu jalanan.

image host

https://www.vitalstrategies.org/wp-content/uploads/Sumber-Utama-Polusi-Udara-di-DKI-Jakarta_Policy-Brief.pdf

Terkait emisi kendaraan bermotor, saat ini saya lihat di jalanan sudah banyak ditemui kendaraan listrik. Mulai dari sepeda listrik (dimana menurut saya cukup berbahaya apabila digunakan oleh anak dibawah umur), sepeda motor listrik, bahkan mobil listrik.

China memiliki beberapa merk mobil listrik yang penjualannya juga sudah banyak dan dapat menyaingi merk Amerika (Tesla). Beberapa merk mobil asal China yang memproduksi mobil listrik antara lain adalah BYD dan Wuling. (https://en.wikipedia.org/wiki/Electric_car#Currently_available_electric_cars )

Namun, opini saya adalah ya kendaraan listrik ini mampu mengurangi polusi yang diakibatkan oleh kendaraan dengan bahan bakar fosil. Namun, mungkin bisa saja dikatakan “sama juga bohong” kalau listrik yang digunakan untuk charge kendaraan listrik ini didapatkan dari PLTU. Ibarat “memindahkan polusi”. Hal ini terkadang juga menjadi kontroversi.

Yang jadi opsi lain (yang sepertinya akan memberikan dampak yang lebih besar) adalah perluasan dan perbaikan sarana transportasi umum. Sehingga akan mendorong masyarakat untuk menggunakan transportasi umum daripada menggunakan transportasi pribadi.

Saat ini masih sedikit daerah yang kualitas transportasi umumnya setara dengan Jakarta. Menurut saya transportasi umum di wilayah Jakarta sudah cukup memadai (walaupun masih banyak aspek yang dapat ditingkatkan). Mulai dari angkot, bus kecil, bus besar, kereta sudah ada di Jakarta.

Peningkatan pelayanan dilakukan dengan membuat layanan baru yang lebih terintegrasi dan dikelola dengan lebih profesional. Misalnya layanan Jak Lingko/Mikrotrans yang memiliki armada setara angkot (minibus kecil seperti Suzuki Carry dan Daihatsu GranMax). Penumpang tidak perlu membayar untuk layanan ini (gratis, namun perlu kartu JakLingko). Pelayanannya dan fasilitasnya berbeda dibandingkan angkot biasa. Misalnya, pada beberapa armada Mikrotrans sudah dilengkapi dengan AC yang membuat penumpang lebih nyaman. Pada armada Mikrotrans juga penumpang dan pengemudi dilarang merokok. MIkrotrans juga hanya dapat berhenti di titik-titik yang sudah ditentukan (halte/bus stop) sehingga (mungkin) diharapkan dapat meningkatkan kedisiplinan masyarakat dan mengurangi “keruwetan” lalu lintas (agar tidak naik/turun di sembarang tempat).

Selain Mikrotrans, integrasi angkutan kota di Jakarta juga memiliki unit armada lain seperti Minitrans (pengganti Kopaja/Metromini), dan Metrotrans (bus besar Transjakarta namun tidak memiliki jalur khusus). Beberapa unit Metrotrans juga sudah menggunakan bus listrik.

image host

By © VulcanSphere / Wikimedia Commons / CC BY 4.0, CC BY 4.0, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=147524645

Layanan lain yang juga mulai bermunculan di kota lain adalah kerjasama dengan Kemenhub dengan layanan BTS BisKita (buy the service – https://dephub.go.id/post/read/menhub-dorong-pemda-lanjutkan-program-bts). Skema BTS ini yaitu berupa subsidi untuk penyelenggaraan angkutan umum di daerah perkotaan yang diberikan oleh Kemenhub kepada operator transportasi umum. Bus yang digunakan adalah bus kecil (seperti Minitrans kalau di Jakarta).

Saya pernah coba layanan ini di Bogor. Di Bekasi sendiri, layanan ini sudah ada (rute Vida-Summarecon Bekasi) dan akan rencananya akan diluncurkan rute baru ke wilayah Kabupaten Bekasi (Jatimulya – Tambun – Cibitung – Cikarang).  (https://otomotif.kompas.com/read/2024/10/11/113100715/layanan-biskita-siap-hadir-di-kabupaten-bekasi).

Terkait kendaraan listrik, pemerintah juga memberikan subsidi baik untuk sepeda motor listrik dan juga mobil listrik. Seperti potongan harga unit kendaraan dan juga potongan pajak. Hal ini dirasa mampu meningkatkan daya beli masyarakat terhadap kendaraan listrik. Namun, hal ini sepertinya kurang menyeluruh dapat dirasakan dampak atau manfaatnya oleh masyarakat. Yang lebih bermanfaat adalah perluasan layanan transportasi publik yang lebih nyaman, aman, dan terjangkau guna mendorong pengurangan penggunaan kendaraan pribadi.

Kita berpindah ke topik selanjutnya yaitu semakin meningkatnya menu makanan dan minuman yang terinspirasi dari budaya luar negeri. Hal ini memang benar dan saya juga melihatnya. Banyak street food Indonesia saat ini yang menjajakan menu yang terinspirasi (atau bahkan memang) dari luar negeri. Terutama yang berhubungan dengan Korea Selatan dan Jepang. Menu-menunya antara lain seperti Ramen, Toppoki, Jjangmyeon, dan masih banyak lagi. Hal ini kemungkinan terjadi akibat maraknya budaya seperti K-Pop dari Korea Selatan. Sedangkan menu lokal atau jajanan tradisional nampak kalah pamor daripada menu menu populer.

image host

ramen ayam – AI generated

Pendapat saya, saya juga lebih menikmati makanan populer ini dibandingkan dengan jajanan tradisional/pasar. Namun tidak dengan ibu saya yang jauh lebih menyukai jajanan tradisional.

Untuk meningkatkan minat dan exposure anak-anak muda zaman sekarang tentang menu tradisional, perlu adanya promosi dan edukasi yang banyak (atau mungkin masif) terkait dengan hal ini. Yang tentunya medianya disesuaikan dengan kebiasaan anak muda yaitu melalui media sosial.

image host

By Our World In Data – https://ourworldindata.org/grapher/child-stunting-ihme, CC BY 3.0, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=86947605 

Terkait stunting (atau stunted growth) di Indonesia memang masih banyak. Pada gambar berikut dapat dilihat Indonesia masih masuk di warna oranye (lebih dari 20%). Hal ini berbeda apabila dibandingkan dengan China yang masuk di kategori kuning. Menurut WHO, stunting dapat mencegah anak untuk dapat mencapai kemampuan fisik dan kognitif yang optimal. (https://www.who.int/health-topics/malnutrition#tab=tab_1). Stunting biasanya ditandai oleh tinggi badan anak yang kurang dari standar.

Salah satu penyebab dari stunting adalah kurangnya gizi pada ibu. Bukan saja saat ibu tersebut hamil, melainkan juga sejak sebelum kehamilan. Hal ini juga berkaitan dengan kondisi ekonomi. Keluarga dengan kondisi ekonomi yang kurang baik atau berpendapatan rendah cenderung tidak mendapatkan akses terhadap asupan gizi yang cukup.

Hal lain yang mempengaruhi stunting adalah kesadaran dan pengetahuan terkait stunting, gizi, dan kesehatan yang masih kurang di masyarakat. Masih banyak keluarga di Indonesia yang belum memberikan asupan gizi yang cukup untuk anak-anaknya yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan mengenai pola makan seimbang.

image host

Dinkes DKI Jakarta https://dinkes.jakarta.go.id/berita/read/kenali-gejala-umum-penyebab-dan-tips-mencegah-stunting 

Kondisi kebersihan dan sanitasi lingkungan juga mempengaruhi. Kondisi kebersihan dan sanitasi yang buruk dapat meningkatkan risiko penyakit misalnya diare. Berbagai penyakit dapat memengaruhi kesehatan anak. Seperti penyerapan nutrisi yang terhambat. Masih banyak juga wilayah di Indonesia yang belum mendapatkan akses ke tempat pelayanan kesehatan yang memadai.

Penanganan kasus stunting di Indonesia juga ditangani oleh tim dari pemerintah yaitu Tim Percepatan Penurunan Stunting (www.stunting.go.id) Targetnya pada tahun 2024 ini prevalensi stunting turun ke tingkat 14%. Berdasarkan data Survei Kesehatan Indonesia (SKI), prevalensi stunting di Indonesia (2023) adalah sebesar 21,5%.

Menurut Kemenkes (https://upk.kemkes.go.id/new/4-cara-mencegah-stunting), beberapa hal yang dapat dilakukan guna mencegah atau mengurangi risiko stunting antara lain:

  • Memberikan ASI eksklusif hingga enam bulan
  • Memantau perkembangan anak dan rutin cek kesehatan di posyandu
  • Memberikan makanan pendamping ASI (MPASI) dengan gizi yang cukup pada bayi berusia > 6 bulan.

Namun hal-hal di atas adalah tips dengan cakupan keluarga. Tentunya peran pemerintah sangat dibutuhkan guna mengurangi tingkat stunting di Indonesia. Salah satunya dengan program peningkatan kualitas gizi masyarakat. Program tersebut dapat meliputi alokasi makanan tambahan (bagi ibu hamil, ibu menyusui, dan anak), dan juga peningkatan sosialisasi. Sosialisasi yang dimaksud bisa tentang diversifikasi makanan (mendorong konsumsi makanan yang bergizi dan beragam) dan juga sosialisasi yang masif terkait pentingnya konsumsi gizi seimbang juga pola makan dan pola hidup sehat.

Ada hal lain juga yang dibahas pada artikel tersebut. Yaitu terkait dengan pendidikan di Indonesia. Contohnya adalah Programme for International Student Assessment (PISA). PISA adalah suatu program penilaian yang dilaksanakan setiap tiga tahun sekali oleh Organisation for Economic Co-operation and Development. Hasil skor PISA Indonesia selalu berada di urutan bawah. Hal ini dapat merefleksikan mutu pendidikan di Indonesia

image host

https://www.cnbcindonesia.com/research/20240131161319-128-510569/skor-matematika-membaca-pelajar-ri-salah-satu-terendah-di-dunia

Berdasarkan data yang diperoleh dari OECD  (skor PISA Indonesia tahun 2022) https://gpseducation.oecd.org/CountryProfile?primaryCountry=IDN&treshold=10&topic=PI , skor matematika Indonesia adalah 366 poin dibandingkan nilai rata-rata negara yang berpartisipasi OECD 472 poin. Sebesar 18 persen pelajar setidaknya mendapatkan level 2 di bidang matematika. Jauh berbeda dibandingkan nilai rata-rata negara yang berpartisipasi OECD yaitu 69%. Pada level 2 ini, setidaknya pelajar dapat mengartikan dan mengenali dimana sebuah keadaan atau sesuatu yang sederhana dapat direpresentasikan secara matematis (tanpa bantuan langsung).

Hampir tidak ada pelajar di Indonesia yang menjadi top performer di bidang matematika (mencapai level 5-6 PISA). Rata-rata nilai OECD= 9% pelajar mencapai level ini. Pada level ini, pelajar dapat melakukan penggambaran (memodelkan) situasi komplek secara matematis, memilih, membandingkan, dan mengevaluasi strategi pemecahan masalah yang tepat untuk mengatasinya. Selain yang saya jelaskan diatas mengenai hasil PISA Indonesia, masih ada banyak lagi yang dapat dijelaskan.

Beberapa waktu lalu, di media sosial sempat ramai topik tentang banyaknya siswa sekolah menengah yang belum dapat membaca dengan lancar dan juga belum dapat melakukan perhitungan sederhana (salah satu berita dapat diakses pada https://www.detik.com/jabar/berita/d-6858206/miris-banyak-siswa-smp-di-pangandaran-tak-bisa-menulis-membaca). Hal ini merupakan hal yang miris. Seharusnya saat lulus sekolah dasar siswa diharapkan setidaknya sudah lancar membaca dan juga melakukan perhitungan sederhana.

Mungkin hal ini juga terkait dengan kebijakan pemerintah dan kurikulum yang berlaku. Kabarnya, kurikulum yang sedang berlaku saat ini (kurikulum merdeka) tidak memungkinkan adanya siswa yang tinggal kelas (https://akademik.mansakobe.sch.id/2024/06/tidak-naik-kelas-ditiadakan-dalam.html).

image host

Sehingga mungkin saja sekolah mengupayakan berbagai hal misal tugas lain yang lebih mudah, ataupun “terpaksa” membuat siswa tersebut (yang memiliki masalah dalam pembelajaran) naik kelas daripada rating atau akreditasi sekolah tersebut dipertanyakan.

Menurut saya, hal ini membuat siswa yang bermasalah atau malas belajar bisa saja jadi santai dan tidak peduli tentang pembelajaran yang ada di sekolah. Ibarat “santai aja, belajar gak belajar tetap naik kelas/lulus kok”. Sehingga akan mengurangi motivasi atau rasa kompetisi saat kegiatan belajar mengajar.

Selain itu, guru juga dirasa memiliki segudang tugas administratif. Mulai dari ikut berbagai pelatihan dan juga banyak paperwork yang harus diselesaikan.

Kenakalan remaja juga menjadi masalah yang ada di dunia pendidikan di Indonesia. Seringkali kita lihat di berita ada kejadian tawuran yang diikuti oleh para pelajar. Mungkin dari pola pikir kita, “ngapain sih ikut tawuran? Gak ada gunanya dan malah berbahaya”. Memang benar. Sebagian dari siswa yang ikut tawuran beralasan mereka  ikut tawuran karena merasa sedang cari jati diri. Ada juga yang di rumahnya tidak mendapat perhatian yang cukup dari orang tua mereka, jadinya mungkin “cari perhatian”-nya dengan cara tawuran (mungkin biar dibilang keren atau jagoan).

image host

Ada juga yang viral beberapa waktu lalu di media sosial. Yang seolah meledek orang-orang yang berkuliah dengan kata-kata “Kuliah adalah pengangguran dengan gaya, nongkrong 4 tahun dengan gaya fantastis”.

Hal ini tentu saja memicu berbagai respons, terutama dari kalangan mahasiswa. Saya sendiri tidak serta merta setuju dengan ungkapan tersebut. Terlihat seolah-olah meremehkan apa itu pembelajaran. Tapi namanya suatu topik ada juga yang menyetujui. Misalnya, mereka yang merasa pekerjaannya saat ini berbeda jauh dengan apa yang mereka pelajari saat berkuliah. Mereka mungkin merasa “ngapain juga ya kuliah kalau kerjaan sekarang berbeda”. Ada juga yang berpendapat seperti “itu sih coping mechanism mereka saja yang tidak berkuliah, sehingga cenderung meledek atau merendahkan orang yang berkuliah”. Intinya banyak sekali yang berkomentar mengenai hal ini.

Bagi saya, kuliah adalah salah satu cara atau jalan yang ditempuh untuk mendapatkan ilmu baru dan kenalan baru. Saya sendiri melanjutkan kuliah di Unindra (saya lulusan D3 Teknik Komputer) karena saat ini jam kerja saya memungkinkan atau sesuai dengan kelas yang tersedia di Unindra dan juga Boss saya mendukung/mendorong karyawannya untuk melanjutkan pendidikannya.

Di bidang pendidikan tentu saja masih banyak yang perlu dibenahi. Mulai dari kurikulum, sistem pendidikan, honor guru (yang saya lihat di berbagai media masih sangat rendah), dan masih banyak lagi. Saya juga berharap dapat berkontribusi dalam hal pendidikan. Walaupun masih jauh dari kata sempurna, terkadang saya menulis terkait teknologi/teknis yang ada kaitannya dengan pekerjaan saya di blog pribadi saya (www.zaidan.web.id). Salah satu sebabnya karena di tempat kerja, saya diminta menulis di blog setiap hari. Saya juga coba (baru sekali) buat video tutorial di Youtube. Karena saya rasa sayang banget kalau pengetahuan yang saya miliki tidak dibagikan.

image host

https://youtu.be/ZToN7qrd528?si=Y_hgDhdv2TXfMQzB

Saya juga berpikiran, memang benar sarjana saja banyak yang menganggur. Apalagi kalau tidak berkuliah? Atau bahkan tidak tamat sekolah menengah. Dengan berpendidikan (apalagi pendidikan tinggi) dapat membuka atau memperluas peluang kita dalam mencari pekerjaan. Karena saat ini juga banyak perusahaan yang mempersyaratkan gelar sarjana untuk dapat apply lowongan pekerjaan.

Sekian tulisan saya kali ini mengenai opini saya terkait artikel yang ada di Kompas untuk tugas mata kuliah Filsafat Ilmu. Mungkin tulisan saya banyak ngalor-ngidulnya sehingga tidak terlalu on-track dengan artikel tersebut. Tapi tulisan ini juga menjadi sarana saya untuk “mencurahkan isi pikiran” saya. Terima kasih.


Ternyata setelah selesai totalnya jadi sepuluh halaman. Ditambah gambar juga biar gak terlalu membosankan. Sambil mengerjakan tugas ini, saya juga belajar beberapa hal baru atau belajar lebih banyak mengenai beberapa hal. Misalnya tentang stunting dan skor PISA. Tugas semacam ini saya rasa juga dapat menjadi sarana latihan saya untuk lebih fokus membaca dan lebih banyak belajar. Karena di masa sekarang dimana banyak video singkat di media sosial, hal tersebut berpengaruh terhadap attention span. Jadinya lebih cepat bosan dan kurang fokus dalam mempelajari sesuatu.

Itu dulu tulisan saya kali ini. Sampai jumpa. Bye.

Leave a Comment