Survivorship Bias

Beberapa hari yang lalu, saya menemui suatu istilah yang dinamakan “survivorship bias” di media sosial. Biasanya juga ditemani gambar atau ilustrasi pesawat seperti di bawah

image hostJuga biasanya disertai narasi yang kurang lebih seperti ini:
“Sebuah pesawat pada masa perang dunia kembali ke markas/pangkalan militer dengan bekas tembakan di bagian tersebut…”. Saya pun dulu sempat berpikir, berarti bagian yang tertembak itulah yang harus diperkuat di pesawat lainnya.

Ternyata, konsep berpikir seperti ini bisa jadi salah. Karena, mungkin saja pada pesawat lain yang tidak kembali ke markas tertembak pada bagian lain yang tidak ditandai pada gambar pesawat tersebut. Artinya, pesawat yang kembali ke markas dapat selamat mungkin saja karena tidak terkena tembakan di bagian yang vital, misalkan pada kokpit.

Hal seperti ini yang dinamakan survivorship bias. Singkatnya, hanya terfokus pada hal-hal yang telah lolos seleksi dan mungkin mengabaikan hal lain yang tidak lolos.

Misalnya, melihat kesuksesan beberapa tokoh seperti pendiri dan pimpinan dari beberapa perusahaan besar yang tidak lulus kuliah atau drop out, seperti Bill Gates, Zuckerberg, Steve Jobs, dan lainnya. Kisah mereka seringkali menjadi bahan motivasi untuk masyarakat. Memang banyak poin yang dapat diambil dan dipelajari.

Tapi mungkin kita hanya fokus ke aspek “drop out“-nya saja. “Wah mereka aja gak kuliah/keluar tapi bisa sukses”. Ya mereka memang sukses dan tidak menyelesaikan kuliahnya waktu itu. Namun, perlu diingat mereka dikeluarkan atau berhenti dari kampus ternama. Misalnya Zuckerberg berhenti dari kampus Harvard, dimana saat ini Harvard adalah Universitas #4 menurut data QS World University Rankings . Yang mana untuk dapat masuk ke universitas tersebut tentu bukanlah hal yang dapat dilakukan kebanyakan orang.

Mereka juga drop out mungkin karena ingin mengejar “kesempatan” untuk lebih fokus mengembangkan bisnis yang mereka buat, bukan berarti mereka kurang dalam hal akademik.

Dan juga mungkin ada privilege lain yang mereka miliki. Misalnya kondisi ekonomi yang memadai, akses ke teknologi dan berbagai resources, koneksi atau relasi, dan lainnya.

Namun, tidak semua yang drop out dari kampus ternama memiliki nasib yang sama dengan para founder/CEO tersebut. Mereka yang tidak berhasil mungkin mendapatkan tantangan lain yang mereka hadapi. Kisah mereka yang sukses walaupun drop out bukanlah generalisasi atau gambaran penuh dari individu yang drop out. Apalagi “ugal-ugalan” seperti “ah gue keluar kuliah aja, ngapain. Zuckerberg aja drop out tapi sukses”.

Pendidikan juga merupakan faktor penting. Kalau ada kesempatan untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi atau lebih baik, ambil. Nilai di perkuliahan, IPK, dan gelar memang bukan menjamin kesuksesan di masa depan. Apalagi kalau tidak memilikinya, kesempatan mendapat kehidupan atau pekerjaan yang lebih baik sepertinya akan lebih kecil.

Sempet viral tuh beberapa bulan yang lalu di media sosial, tentang ada yang bilang “kuliah itu pengangguran dengan gaya” ataupun hal lain yang seolah “mendiskreditkan” atau “meremehkan” pendidikan tinggi (perkuliahan). Saya sendiri join di grup FB anak-anak kuliah (KKN – Keluh Kesah Ngampus) dan hadirnya ujaran seperti ini pun ibarat menyulut/triggering” mereka yang susah-susah berkuliah. Ada juga yang beropini “itu mah coping mechanism dari mereka yang tidak berkuliah, jadinya seolah meremehkan orang-orang yang berkuliah”. Banyak komentar lain juga yang saya temui.

Yaa semoga saja di masa depan lebih banyak lagi masyarakat Indonesia yang dapat merasakan bangku perkuliahan dan bisa bikin Indonesia lebih baik lagi.

 

 
 

 

 

Leave a Comment